Sosmed

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Sunday, July 13, 2014

Entah Kenapa, Akhir-Akhir Ini, Aku Enggan Melihat Mu (Televisi)

Terus terang saja, akhir-akhir ini saya sangat malas menonton televisi, terutama apabila itu mengenai berita politik yang akhir-akhir ini menjadi sorotan utama. Bagaimana tidak, sekarang media yang satu ini, jika sudah berbicara politik, maka sudah tidak lagi bisa merepresentasikan hal-hal yang positif, edukatif, atau bahkan objektif, entah itu mau dilihat dari sudut manapun. Selalu ada pesan yang sangat terlihat jelas mencoba mengarahkan publik pada persepsi dan opini tertentu.

Apakah salah? saya tidak bisa menjawab hal ini menggunakan dasar pemikiran ilmu pengetahuan akan esensi media massa. Tapi jika bertanya atas dasar keyakinan pribadi dan pemikiran sendiri, maka saya katakan hal ini adalah kesalahan luar biasa. Media massa menurut saya harus menjadi sebuah lukisan yang realis, dan bukan malah menyeruapai sesuatu yang abstrak. 

Mari kita ambil contoh pada Pemilu 2014 ini. Yang mana jelas, perebutan kekuasaan tertinggi setelah MPR/DPR, yaitu Presiden, melibatkan 2 orang dengan dukungan sejumlah pemilik stasiun televisi. Jelas, stasiun televisi tertentu yang mendukung salah satu capres pastinya akan habis-habisan menggiring opini publik pada sesuatu yang diharapkan dapat menciptakan image positif pada capres yang diwakilkannya. Jika hanya ini yang terjadi, maka dampaknya tidak melulu negatif, namun apabila selain itu, yaitu juga menggiring opini publik untuk menciptakan image negatif pada capres dari tetangga sebelah, maka inilah yang disebut dengan chaos. Media tidak mampu lagi memberikan contoh positif kepada pemirsanya.

Realita inilah yang terjadi saat ini. Media A menggempur habis-habisan lawan tanding dari capres tetangga sebelah. Dan begitu pula dengan media B, juga melakukan hal yang sama. Parahnya lagi, para penikmat televisi akan cepat menerima setiap informasi yang ada tanpa ada proses filterisasi terlebih dahulu. Fitnah dan hinaan menjadi sesuatu yang biasa dalam obrolan warung kopi. Perang statement pada media sosial menjadi sesuatu yang lumrah.

Parahnya lagi, sumber pembuat berita yang sama sekali sulit diketahui asal usulnya, tidak sedikit pun merasa bersalah atas kejadian luar biasa ini. Dirinya masih bisa tersenyum dan terus berfikir, hal apa lagi yang akan dilakukan untuk menciptakan keresahan dan kebingungan publik pada yang namanya kebenaran. Dirinya masih terus sibuk untuk membuat ulasan-ulasan negatif tentang lawan tandingnya, mencari kesalahan dan bahan-bahan fitnah yang mungkin dapat dinaikan ke permukaan. 

Pada akhirnya, berita yang dulunya menjadi acara favorit saya, kini tergantikan dengan Catatan Hati Seorang Istri, acara sinetron yang dulu sama sekali tidak pernah saya sapa. Lebih baik saya menangis haru melihat cerita nyata yang dibuat seperti fiksi, dibanding saya harus kecewa mengetahui cerita fiksi yang dibuat seolah nyata.